Penulis : Abu Umar Basyier
ISBN : 978-602-9330-00-7
Ukuran : 240 hlm, 15 cm x 21 cm
Harga: Rp. 32.000,-
Fenomena gencarnya penyebaran pemikiran Islam liberal, jika merunut kepada para tokohnya dan komunitas yang menggandrunginya, lebih menampakkan gejala culture shock (keterkejutan budaya) pada sebagian kaum santri. Selama ini, mereka sudah diperkenalkan terhadap tradisi maupun metodologi keilmuan muslim. Namun pada saat yang sama, tertanam citra di tengah masyarakat muslim sendiri, komunitas pesantren adalah komunitas ’nomor dua’ dibanding kelompok terpelajar non pesantren.
Di tengah arus upaya-upaya dekonstruksi terhadap tradisi keilmuan muslim maupun metodologinya yang sudah teruji berabad-abad oleh kalangan orientalis atau pemikir muslim yang terpukau dengan tawaran mereka, ‘kaum santri’ seolah mendapatkan pintu keluar dari kungkungan citra sebagai kaum ‘pinggiran’. Atau dengan ungkapan lain, berislam liberal adalah suatu cara untuk mengatasi keminderan budaya dan intelektual sebagai kaum santri.
Tetapi karena memang sebuah keterkejutan budaya sekaligus juga intelektual, akhirnya sepak terjang mereka selalu membikin ‘heboh’ sekaligus memancing kemarahan umat Islam di Indonesia. Mengganti assalamu’alaikum dengan ‘selamat pagi’ atau yang lain. Menganggap syariat Islam sudah tidak relevan bagi kehidupan kekinian umat Islam, dan gagasan-gagasan nyeleneh lainnya.
Sang Liberalis mengisahkan petualangan sekaligus pergolakan pemikiran seorang santri yang juga terpukau dengan gagasan Islam Liberal. Cerita yang berlatar kisah nyata ini menjadikan pemahaman terhadap gagasan Islam Liberal menjadi bisa dicerna dan tidak memusingkan kepala. Pada saat yang sama juga, lebih mudah membatasi pergerakan penyebaran pemikirannya. Selamat membaca!
ISBN : 978-602-9330-00-7
Ukuran : 240 hlm, 15 cm x 21 cm
Harga: Rp. 32.000,-
Fenomena gencarnya penyebaran pemikiran Islam liberal, jika merunut kepada para tokohnya dan komunitas yang menggandrunginya, lebih menampakkan gejala culture shock (keterkejutan budaya) pada sebagian kaum santri. Selama ini, mereka sudah diperkenalkan terhadap tradisi maupun metodologi keilmuan muslim. Namun pada saat yang sama, tertanam citra di tengah masyarakat muslim sendiri, komunitas pesantren adalah komunitas ’nomor dua’ dibanding kelompok terpelajar non pesantren.
Di tengah arus upaya-upaya dekonstruksi terhadap tradisi keilmuan muslim maupun metodologinya yang sudah teruji berabad-abad oleh kalangan orientalis atau pemikir muslim yang terpukau dengan tawaran mereka, ‘kaum santri’ seolah mendapatkan pintu keluar dari kungkungan citra sebagai kaum ‘pinggiran’. Atau dengan ungkapan lain, berislam liberal adalah suatu cara untuk mengatasi keminderan budaya dan intelektual sebagai kaum santri.
Tetapi karena memang sebuah keterkejutan budaya sekaligus juga intelektual, akhirnya sepak terjang mereka selalu membikin ‘heboh’ sekaligus memancing kemarahan umat Islam di Indonesia. Mengganti assalamu’alaikum dengan ‘selamat pagi’ atau yang lain. Menganggap syariat Islam sudah tidak relevan bagi kehidupan kekinian umat Islam, dan gagasan-gagasan nyeleneh lainnya.
Sang Liberalis mengisahkan petualangan sekaligus pergolakan pemikiran seorang santri yang juga terpukau dengan gagasan Islam Liberal. Cerita yang berlatar kisah nyata ini menjadikan pemahaman terhadap gagasan Islam Liberal menjadi bisa dicerna dan tidak memusingkan kepala. Pada saat yang sama juga, lebih mudah membatasi pergerakan penyebaran pemikirannya. Selamat membaca!
0 komentar:
Posting Komentar